bhinnekanusantara.id – Hoaks, fitnah dan aksi-aksi intimidatif diprediksi akan semakin kencang mewarnai Pemilu Serentak 2019, terutama di masa tenang nanti.
Peneliti Seven Strategic Studies, Girindra Sandino, mengungkapkan bahwa hoaks yang berkembang di beberapa daerah, termasuk di Jawa Barat (Jabar), hanya salah satu dari awal strategi kampanye hitam di lapangan yang agresif dan ofensif sebagai cara untuk mengetes bagaimana respon publik menyikapi hal-hal demikian.
Namun demikian, Girindra mengakui bahwa hal itu memang berkorelasi dengan elektabilitas Capres-Cawapres. Oleh karena itu, Girindra pun menyarankan agar hal itu tidak dianggap enteng. Sebab, jika strategi tersebut dianggap jitu, maka akan diteruskan sebagai senjata ampuh mendobrak elektabilitas capres-cawapres agar naik.
“Artinya ke depan, hoaks yang beraneka ragam dan cenderung mengarah ke black campaign berpotensi menyebar kebencian massal akan semakin massif, terukur dan sistematik di basis-basis kuat lawan yang akan dirangsek salah satu kubu,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Jakarta, Minggu (10/3/2019).
Kemudian, Girindra mengatakan, ada juga fenomena sikap atau aksi-aksi intimidatif dari beberapa kelompok atau organisasi-organisasi tertentu untuk melanjutkan pembenaran hoaks yang berhasil dilempar ke masyarakat.
“Pengalaman Pilkada di beberapa daerah, (aksi intimidatif) terjadi menjelang pemungutan suara dan pada proses pemungutan suara, mereka hadir di TPS-TPS,” katanya.
Girindra pun berharap, jangan sampai aksi dan sikap intimidatif tersebut terjadi di tahapan Pemilu Serentak 2019 nanti. Artinya, Girindra menyampaikan, harus ada langkah antisipasi yang konkret dari pihak-pihak terkait, baik penyelenggara pemilu seperti halnya pemerintah setempat, kepolisian dan Bawaslu dan jajarannya untuk memetakan aksi intimidasi yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam tahapan kampanye rapat umum maupun psikologis pemilih dalam memilih pada proses pemungutan suara.
Untuk itu, Girindra pun meminta agar penegakkan hukum dibuka seluas-luasnya. Menurutnya, jika kanalisasi konflik melalui jalur hukum terhambat, maka potensi konflik aktual di jalur politik akan terbuka. Paling tidak, arus gugatan secara hukum langsung ke pengadilan melalui proses hukum akan lebih tinggi, dengan penyelesaian yang bukan mustahil tidak memuaskan secara sosial.
“Oleh karena, fragmentasi politik masyarakat yang sudah mengidentifikasikan diri secara emosional dengan kubu capres dan cawapres. Dalam kondisi ini, tensi politik lebih menyengat dan mudah terpicu menjadi konflik sosial,” ujarnya.
Khusus Pilpres, Girindra meminta agar kedua kubu tidak saling terus saling menyalahkan. Menurutnya, diperlukan imbauan dari berbagai kalangan seperti pemerintah, politisi dan tokoh agama agar pemilu berlangsung damai dan terhindar dari konflik sosial yang bermuatan kekerasan pemilu yang bermuara dari hoaks dan aksi intimidatif.
Girindra menegaskan, hal-hal di atas harus menjadi pedoman bagi setiap warga negara yang kritis dalam berdemokrasi. Walau pun pemilu belum menjamin proporsionalitas, keterwakilan politik maksimal, bahkan belum tentu berkorelasi dengan kemajuan demokrasi, namun memelihara agar tahap kehidupan demokrasi yang sudah dicapai tidak mengalami kemunduran adalah tanggung jawab setiap warga negara.
“Legitimasi pemilu demokratik ditentukan oleh imparsialitas, independensi dan akuntabilitas institusi-institusi penyelenggara, kontestan yang bersaing secara jujur, kuantitas dan kualitas partisipasi politik rakyat, serta kebebasan rakyat menentukan pilihan politik yang diproteksi oleh negara, termasuk bebas dari rasa takut dalam memilih di bilik-bilik suara. Maka aksi-aksi intimidatif yang berpotensi terjadi di tahapan pemilu ke depan harus menjadi perhatian serius,” ungkapnya.
Sumber : Akurat
Editor : Awlina IMM Polda Jateng