Berita

Kajian Rutin Pesantren Manba’ul Ulum Jamanis dengan tema Sejarah Pemilihan Pimpinan Menurut Kacamata Islam

Cropped Favicon Bi 1.png
×

Kajian Rutin Pesantren Manba’ul Ulum Jamanis dengan tema Sejarah Pemilihan Pimpinan Menurut Kacamata Islam

Share this article
Kajian Rutin Pesantren Manba’ul Ulum Jamanis Dengan Tema Sejarah Pemilihan

TASIKMALAYA – Dalam masa awal sejarah pemerintahan Islam, pemilihan umum seperti yang kita kenal sekarang memang belum terjadi. Pada masa itu seseorang diangkat sebagai pemimpin negara/kepala pemerintahan oleh sejumlah tokoh yang dianggap mewakili aspirasi warga secara luas. Sesudah seseorang diangkat, barulah warga masyarakat secara langsung menyatakan janji setia (baiat) kepada pemimpin tersebut. Suksesi dan pengangkatan pemimpin pemerintahan dalam sejarah awal Islam berbeda-beda polanya.

Rasulullah SAW menjadi pemimpin diangkat oleh Allah SWT, namun secara alami juga kesepakatan para sahabat. Sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama (11–13 H/632–634 M) melalui dukungan beberapa tokoh, terutama dari kalangan Muhajirin dan Anshor dalam peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah; diawali oleh Umar bin Khattab, lalu diikuti Sahabat Utsman bin Affan dan kemudian yang lain-lain sampai akhirnya diterima oleh masyarakat luas melalui baiat. Penobatan Sahabat Umar bin Khattab sebagai Khalifah Kedua (13-23 H/634-644 M) menggantikan Sahabat Abu Bakar terjadi melalui wasiat/penunjukan oleh Sahabat Abu Bakar sendiri, baru kemudian diamini oleh Masyarakat luas. Lain lagi dengan Khalifah Utsman; beliau tampil menggantikan Khalifah Umar bin Khattab menjadi Khalifah Ketiga (23–35 H/644–656 M) melalui formatur (ahl al-halli wa al- ‘aqdi) sebanyak enam orang yang ditunjuk oleh Khalifah Umar sendiri.

Kemudian Sayidina Ali menjadi Khalifah Keempat (36–41 H/656–661 M) menggantikan Khalifah Utsman melalui desakan sebagian sahabat, terutama dari para veteran Perang Badar. Selanjutnya Muawiyah bin Abi Sufyan menggantikan sahabat Ali bin Abi Thalib. Setelah Muawiyah bin Abi

Sufyan,suksesi kepemimpinan terjadi melalui pewarisan kepada anak atau kerabat seperti lazimnya sistem monarki, suatu system rekrutmen kepemimpinan (suksesi) yang sejatinya tidak sejalan dengan idealitas Islam.

Dalam proses pemilihan pemimpin, Sahabat Umar bin Khattab menggunakan pola yang dekat dengan mekanisme Pemilu sekarang, yaitu menjalankan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Telah dimaklumi bersama bahwa menjelang wafatnya, Sahabat Umar bin Khattab membentuk “Tim Enam Plus Satu” (6+l) yang dikenal dengan ahlul halli wal aqdi, untuk membentuk dan memilih pemimpin umat Islam sebagai pengganti beliau. Tim 6+1 ini terdiri dari para Sahabat Nabi yang sangat tersohor seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Ubadah, Thalhah bin Zubair, dan Zubair bin Awwam ditambah Abdullah bin Umar yang hanya diberi hak memilih namun tidak untuk dipilih. Sahabat Umar meminta Tim 6+1 ini bermusyawarah untuk menentukan pemimpin umat Islam sesudah beliau, dengan mekanisme sebagai berikut: apabila empat dari 6+1 sepakat terhadap satu orang, maka yang lain harus setuju. Apabila ada tiga orang yang bersepakat pada satu orang, sedangkan tiga orang lainnya sepakat pada orang yang berbeda, maka yang menjadi penentu adalah suara faksi ketiga dengan memilih salah satu dari dua orang yang diusulkan sebelumnya.

Semua pihak harus setuju dengan pilihan ini. Begitulah hingga Tim 6+1 ini bersepakat memilih Sahabat Utsman bin Affan sebagai Khalifah Ketiga menggantikan Sahabat Umar (al-Suyuti, Târîkh al-Khulafâ’, I, hlm. 55)(*)