SEMARANG – Selain berelasi langsumg dengan KUHP Nasional (UU Nomor 1 Tahun 2023) yang diproyeksikan dilaksanakan pada 2026, beberapa konsep baru harus memperhatikan pula sinkronisasi kewenangan masing-masing subsistem dalam integrasi proses penegakan hukum.
Salah satu isu hukum yang mengemuka yaitu penghapusan penyelidikan yang tidak diformulasikan pada Pasal 1.
Hal demikian tentu memunculkan ragam potensi perubahan penegakan hukum dalam proses awal diketahuinya tindak pidana.
Dapat dikemukakan bahwa tindak pidana (wedderechtelijk) tidak selalu menunjukkan wujud aslinya.
Maka ketika penyidikan dilakukan tanpa didahului penyelidikan, hal ini potensial memunculkan terwujudnya kekhawatiran yang dikemukakan Donald Black, yaitu akan muncul swing society yaitu masyarakat yang suka menuntut, yang membawa seluruh permasalahannya ke jalur hukum, hingga mengakibatkan addictive to law.
Kondisi hukum yang esoteris seperti yang dikemukakan Nonet dan Selznick, sejatinya memerlukan proses penyelidikan untuk membedakan apakah suatu peristiwa mengandung anasir hukum pidana atau tidak.
Oleh karenanya, ketika diketahui dugaan terjadinya tindak pidana melalui laporan maupun aduan, tetapi justru langsung direspon dengan penyidikan, yang terjadi kemudian adalah munculnya masalah kecukupan SDM penyidik, maupun kuantitas perkara yang overloading di tahap penyidikan.
Potensi overloading sebagai permasalahan factual demikian karena rasio penyidik dan masyarakat yang timpang saat ini.
Sumber hukum pidana dalam KUHP Nasional yang tidak hanya berasal dari UU (lege), akan tetapi juga mengakui hukum yang hidup (the living law), sejatinya justru menempatkan penyelidikan sebagai proses yang sangat penting dalam penegakan hukum.
Hukum yang hidup membuka peluang sebagai alasan penghapus pidana yang hal tersebut hanya dapat dideteksi ketika peyelidikan dilakukan.
Pada aspek teoretis, pertanggungjawaban pidana tidak lagi hanya ditentukan dengan pemenuhan unsur objektif (AVAW) maupun unsur subjektif (AVAS) tindak pidana, namun pada tahap awal melibatkan pula proses penyelidikan pada alasan penghapus pidana yang salah satunya dari The Living Law.
Masih pada formulasi Pasal 1 RUU KUHAP, jika dicermati dan diperbandingkan dengan langkah factual penegakan hukum oleh Penyidik dalam melaksanakan tindakan polisional atau sering disebut upaya paksa, maka seharusnya urutan tindakan polisional dimulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Akan tetapi pada formulasi Pasal 1 RUU KUHAP demikian justru disusun dengan tidak urut.
Tindakan polisional lain yang sangat membantu tugas penyidik seperti penyadapan (intersepsi) maupun penggunaan data intelijen (misalnya data FIU/PPATK) untuk tidak pidana tertentu tidak diakomodir pada Pasal 1 RUU KUHAP dimaksud.
Isu hukum selanjutnya dalam RUU KUHAP yaitu berkenaan dengan over lapping kewenangan penyidikan.
Ketika mencermati ketentuan Pasal 8, isu mengenai konsep dominus litis yang mendominasi kewenangan penyidikan, ditandai dengan diksi “penyidik berkoordinasi dengan penuntut umum”.
Formulasi pasal demikian seharusnya menegaskan deferensiasi fungsional antara subsistem penyidikan, subsistem penuntutan, subsistem peradilan maupun subsistem advokasi.
Ketika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12 ayat (8) dan (11) overlapping dominus litis dalam fungsi penyidikan demikian sangat jelas terlihat dengan pengaturan laporan atau pengaduan yang justru ditujukan kepada penuntut umum setempat.
Oleh karenanya, penegasian deferensiasi fungsional yang digantikan dominus litis dengan menambah kewenangan penuntut umum, adalah Langkah yang mereduksi kewenangan penyidik.
Pada saat yang sama mekanisme control internal oleh propam Polri turut dimatikan dengan overlapping dominus litis pada Pasal 12 ayat (8) dan (11) RUU KUHAP demikian.
Pada Pasal 13 ayat (1) formulasi pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari, bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.
Lebih jauh, Pasal 13 ayat (2) harus didekonstruksi utamanya berkenaan dengan independensi penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti (bewijstvoering).
Overlapping kewenangan penyidik yang harus berkoordinasi, berkonsultasi, dan meminta petunjuk kepada penuntut umum agar kelengkapan berkas perkara dapat segera dipenuhi baik formil maupun materiel, memberikan intervensi yang besar jika dibandingkan dengan diksi ‘petunjuk’ seperti yang telah dikenal selama ini.
Pada formulasi Pasal 43 berkenaan dengan kewenangan penuntut umum yang dapat menuntut perkara tindak pidana di luar daerah hukumnya, formulasi demikian seharusnya dilengkapi dengan konsep deferensiasi fungsional, sehingga menghindarkan tuduhan kewenangan penuntut umum dapat mengambilalih kewenangan penyidik Polri.
Adapun pada ketentuan Pasal 111 Ayat (2) RUU KUHAP, yang memberikan kewenangan kepada Jaksa untuk mempertanyakan kewenangan pada huruf a, hingga j, misalnya mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan yang dilakukan oleh Kepolisian.
Hal demikian tentu perlu diformulasikan dengan sangat berhati-hati agar tidak berbenturan dengan kewenangan antar subsistem penegakan hukum pidana maupun nomokrasi Putusan Mahkamah Konstitusi. (***)
sumber : inilahjateng.com