Berita

Pakar: KUHAP Adalah Lex Generalis, Jangan Sampai Tunduk Pada UU Lembaga Tertentu

Cropped Favicon Bi 1.png
×

Pakar: KUHAP Adalah Lex Generalis, Jangan Sampai Tunduk Pada UU Lembaga Tertentu

Share this article
Gmni Jatim: Revisi Kuhap Harus Dikawal, Jangan Sampai Merugikan Masyarakat

MALANG – Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali menuai sorotan dari para akademisi, praktisi hukum, dan aktivis mahasiswa dalam sebuah talkshow yang digelar di Aula Universitas Brawijaya Guest House, Malang, pada Selasa (18/2/2025). Salah satu isu yang paling disoroti adalah implikasi penghapusan tahap penyelidikan dalam sistem peradilan pidana, yang dinilai dapat membawa dampak serius bagi sistem hukum di Indonesia.

Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh hukum dan aktivis, termasuk Prof. Dr. Tongkat, S.H., M.Hum. (Dekan Fakultas Hukum UMM), Prof. Dr. I Nyoman Nurbaya, S.H., M.S. (Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum UB), Agustian A. Siagian, S.H. (Ketua DPC Peradi Kabupaten Malang), serta perwakilan organisasi mahasiswa seperti Ketua DPD GMNI Jawa Timur Hendra Prayogo, Ketua DPC GMNI Malang Raya Rolis Sembiring, dan Ketua DPC GMNI Malang Albert. Sekitar 100 peserta turut hadir dalam diskusi ini.

Dampak Penghapusan Penyelidikan: Lonjakan Perkara dan Ketidakpastian Hukum

Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Tongkat menjelaskan bahwa penghapusan tahap penyelidikan dalam KUHP yang baru berpotensi meningkatkan jumlah perkara di tingkat penyidikan. Hal ini terjadi karena penyelidikan selama ini berfungsi sebagai filter awal untuk menentukan apakah suatu laporan benar-benar merupakan tindak pidana atau tidak.

“Jika penyelidikan dihapus, semua laporan akan langsung masuk ke tahap penyidikan. Ini bisa menimbulkan lonjakan perkara di kepolisian dan kejaksaan, serta berisiko memperlambat proses hukum karena banyaknya kasus yang harus ditangani,” ujar Prof. Tongkat.

Ia menambahkan bahwa revisi KUHAP seharusnya dilakukan secara lebih substantif, termasuk dengan memberikan kewenangan audit kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) untuk mengawasi proses hukum agar tidak ada penyalahgunaan wewenang.

“Yang paling penting adalah mencegah penggunaan upaya paksa secara sewenang-wenang. KUHAP seharusnya menjadi rujukan utama sebelum masuk ke aturan spesifik lainnya,” tegasnya.

Menurutnya, idealnya, RUU KUHAP harus diselesaikan lebih dulu sebelum KUHP Nasional diterapkan, agar tidak terjadi ketidakharmonisan dalam sistem hukum pidana.

Ketimpangan Peran Kejaksaan dan Kepolisian

Sementara itu, Prof. Dr. I Nyoman Nurbaya menyoroti bahwa KUHAP yang berlaku saat ini (KUHAP 1981) sudah mengatur tentang tahapan pra-penuntutan yang terdiri dari penyelidikan dan penyidikan, yang menjadi kewenangan Polri serta pegawai penyidik dari kementerian atau lembaga tertentu.

“Jika penyelidikan dihapus, asumsi hukumnya adalah semua laporan masyarakat langsung dianggap sebagai tindak pidana. Padahal, seharusnya ada proses penyelidikan terlebih dahulu untuk menentukan apakah suatu peristiwa benar-benar memenuhi unsur pidana atau tidak,” jelas Prof. Nyoman.

Ia juga menegaskan bahwa RUU KUHAP seharusnya dibahas secara terpisah dari RUU Kejaksaan, mengingat kejaksaan hanyalah salah satu aktor dalam sistem peradilan pidana.

“Jangan sampai KUHAP justru tunduk pada aturan institusi tertentu, padahal seharusnya aturan ini menjadi rujukan utama bagi semua lembaga penegak hukum, termasuk kepolisian dan peradilan,” tambahnya.

Lebih jauh, ia menyoroti dua asas penting dalam penyusunan hukum acara pidana, yaitu asas materi muatan dan asas harmonisasi hukum. Jika tidak dipersiapkan dengan baik, maka akan terjadi konflik norma antara KUHAP dan aturan lain yang setara, seperti Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, dan Undang-Undang Kehakiman.

“Kita harus menghindari adanya tumpang tindih norma yang dapat menyebabkan ketidakpastian hukum,” tegasnya.

Kritik dari Praktisi Hukum: Advokat dan Hak Korban

Dari perspektif advokat, Agustian A. Siagian menilai bahwa penghapusan penyelidikan juga berpotensi menghambat hak korban dalam mendapatkan keadilan.

“Kepolisian selama ini dilatih untuk mencari dan menemukan bukti, sedangkan kejaksaan tidak. Jika penyelidikan dihapus, otomatis polisi kehilangan wewenang untuk melakukan penyelidikan awal. Lalu, bagaimana cara menemukan bukti secara efektif?” ungkapnya.

Menurutnya, tanpa tahap penyelidikan, korban kejahatan akan lebih sulit mendapatkan pendampingan hukum, karena advokat baru dapat mendampingi seseorang saat berstatus tersangka atau terdakwa.

“Jika tidak ada penyelidikan, korban tidak akan mendapatkan pendampingan sejak awal. Ini bisa menjadi masalah besar dalam akses terhadap keadilan,” jelasnya.

Selain itu, ia menyoroti pasal 111 dalam pembahasan KUHAP, yang dinilai memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada kejaksaan.

“Setiap institusi harus memiliki batasan kewenangan yang jelas. Jangan sampai ada satu lembaga yang memiliki kekuasaan berlebihan hingga mengganggu keseimbangan sistem peradilan pidana,” tambahnya.

Aktivis Mahasiswa: KUHAP Harus Dikawal Bersama

Dari kalangan aktivis mahasiswa, Hendra Prayogo (Ketua DPD GMNI Jatim) menegaskan bahwa revisi KUHAP harus dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan institusi hukum.

“Kami akan terus mengawal pembahasan revisi KUHAP dan RKUHP agar tidak justru memperlemah akses masyarakat terhadap keadilan,” ujarnya.

Senada dengan itu, Rolis Sembiring (Ketua DPC GMNI Malang Raya) menambahkan bahwa hukum harus tetap berpihak kepada rakyat.

“Jangan sampai revisi ini malah menambah ketidakpastian hukum dan memperburuk sistem peradilan kita,” katanya.

Revisi KUHAP Harus Berjalan Beriringan dengan KUHP Nasional

Diskusi yang berlangsung selama tiga jam ini menegaskan bahwa perubahan dalam sistem hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan yang matang dan harmonis. Jika tidak, maka revisi KUHAP dan RKUHP justru dapat menimbulkan permasalahan baru dalam sistem peradilan pidana.

Dengan berbagai kritik dan masukan yang muncul dalam talkshow ini, para akademisi, praktisi hukum, dan aktivis berharap agar pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan revisi KUHAP, serta memastikan bahwa aturan yang dihasilkan dapat menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. (*)