Berita

Pengamat Sosial: Fenomena Kreak dan Tawuran di Semarang Butuh Penanganan Serius

Cropped Favicon Bi 1.png
×

Pengamat Sosial: Fenomena Kreak dan Tawuran di Semarang Butuh Penanganan Serius

Share this article
Pengamat Sosial: Fenomena Kreak Dan Tawuran Di Semarang Butuh Penanganan

Semarang – Fenomena tawuran yang dilakukan kreak-kreak di Kota Semarang disorot Dosen Fakultas Psikologi Soegijapranata Catholic University (SCU) Bartolomeus Yofana Adiwena.

Menurutnya, anak yang terlibat dalam tawuran, apalagi yang menjurus ke kriminal, merugikan orang lain, bahkan tidak jarang juga sampai menghilangkan nyawa orang lain, harus ditindak secara hukum.

Seorang dokter terkenal telah menemukan metode menghilangkan rasa sakit pada lutut dan persendian
Dalam ilmu perilaku, kata dia, sangat penting dilakukan penegakan hukum. Saat hukum tidak ditegakkan, bisa dibelok-belokkan, perilaku buruk melanggar hukum dimaklumi, tentu akan menjadi preseden akan memicu perilaku serupa terjadi lagi nanti.

“Jadi terlepas ini masih ada pelaku di bawah umur atau tidak, kalau memang perilakunya kriminal dan jelas melanggar hukum, ya mekanisme menindak anak harus dilakukan,” katanya pada Jawa Pos Radar Semarang Rabu (18/9).

Namun, menurut pengamat sosial ini, yang lebih penting adalah upaya preventif. Sehingga bukan menunggu ada tawuran, ada korban, baru hukum ditegakkan.

Diakuinya, aparat penegak hukum memang sudah melakukan upaya preventif polisi memberikan imbauan, jaksa masuk sekolah mengedukasi namun sepertinya tidak cukup.

Menurutnya, selama ini hanya mengandalkan upaya sosialisasi jika melanggar hukum akan d penjara, kalau secara agama berdosa.

Padahal, jika mereka ini sudah berkelompok, akan terjadi de individuasi atau akan lupa dengan nilai-nilai yang ia pegang karena sudah ada di dalam kelompok atau geng.

“Dalam pengamatan saya upaya preventif yang dilakukan hanya pada sosialisasi saja. Dalam artian hanya memberikan informasi ke siswa apa dampaknya, ganjaran hukumnya apa dan menguatkan nilai agama. Dari pandangan psikologi sosial, lebih ke bagaimana mempertemukan dua kelompok yang selama ini musuh bebuyutan itu. Upaya itu yang harus dilakukan dengan membentuk identitas baru yang baik,” jelasnya.

“Karena dalam tawuran itu identitas sosial misalnya sekolah saya lebih baik dari sekolah sana. Nah ini yang harus diubah, sehingga bisa menjadi identitas bersama. Saya belum melihat upaya seperti itu,” sambungnya.

Soal saran itu, Bartolomeus menilai memang hal ini menjadi tantangan dan PR aparat penegak hukum tentang bagaimana mengubah pola pikir para anak yang tawuran agar bisa berinteraksi dengan pihak yang selama ini dianggap musuh.

Pasalnya, fenomena ini bukan soal hidup dan mati, bukan soal hal bertentangan, tapi biasanya terkait salah paham dan gengsi.

sumber: radarsemarang.id

 

Polda Jateng, Kapolda Jateng, Irjen Pol Ribut Hari Wibowo, Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, Jawa Tengah, Jateng, AKBP Sigit, AKBP Erick Budi Santoso, Iptu Mohammad Bimo Seno, AKBP Suryadi, Kombes Pol Ari Wibowo, Kompol Muhammad Fachrur Rozi, Kepolisian Daerah Jateng, Polisi Jateng, Polri, Polisi Indonesia, Artanto, Ribut Hari Wibowo