Semarang – Joko Purnomo (49) sulit buat bisa tidur dengan nyenyak. Setiap ada kendaraan besar melintas di atas tempat tinggalnya, rumahnya ikut bergetar. Dia sudah 18 tahun tinggal di bawah Flyover Cakrawala, Semarang.
Padahal, flyover itu merupakan jalur sibuk, truk dan kendaraan besar lalu-lalang baik siang maupun malam. Lokasinya juga berdekatan dengan bandara dan rel kereta api yang membuat kebisingan di tempat itu begitu lengkap.

“Ya kalau sudah biasa gimana, awalnya saya nggak bisa tidur juga di sini komplit lah truk, kereta api, pesawat, kalau lewat wah, tapi kalau sudah biasa ini kuping buntet, ya dinikmati saja,” kata Joko, Jumat (2/8/2024).

Joko bersama puluhan keluarga lain sebelumnya tidak pernah membayangkan akan tinggal di tempat tersebut. Namun nasib apes menimpa mereka, harus tergusur dari tempat tinggalnya.

“Sebenarnya kami semua tidak mengharapkan tinggal di bawah jembatan, ini akibatnya karena kita kena gusur tahun 2006,” kata dia.

Joko menyadari, mereka ceroboh saat tergiur tawaran tanah dengan harga jauh di bawah harga pasar. Ternyata mereka tertipu, tanah yang mereka beli adalah tanah wakaf. Tentunya mereka tidak bisa untuk memproses kepemilikan tanah tersebut.

“Jadi dulu di sana itu tanahnya sudah dikapling-kapling, siapa ya yang nggak mau punya rumah di Semarang nah di situ ada yang nawari karena murah bilangnya bekas tanah garapan. Kebodohan kami itu memang mau beli tanah nggak ada sertifikatnya kok mau,” katanya.

Tahun 2001 saat dia membeli tanah itu, dia hanya menghabiskan uang Rp 3 juta. Joko sendiri mau membeli tanah di situ karena melihat lingkungan yang sudah padat penduduk.

Ternyata, 5 tahun kemudian dirinya harus tergusur bersama ratusan orang lain. Pemerintah juga disebut tak tinggal diam, katanya, sempat ada negosiasi agar warga bisa membeli tanah itu ke pemilik aslinya dengan cara mencicil. Warga juga sempat ditawarkan untuk membeli di daerah Palir.

Sayangnya, hanya 1 RT yang diberi kesempatan mencicil untuk menjadikan tanah itu menjadi milik penghuni. Selain itu, karena banyaknya warga yang terdampak, tak semuanya kebagian lahan relokasi.

Akhirnya, sebagian warga memilih tinggal di bawah flyover dengan mendirikan bangunan semi permanen. Momen penggusuran itu hingga kini masih membekas bagi dirinya.

Saat beberapa warga lain memilih tinggal di bawah flyover, Joko sebenarnya sempat tinggal di rumah kontrakan. Namun dia tidak mampu menolak ajakan kawan-kawannya untuk ikut tinggal di permukiman tak resmi itu.

Alasannya, warga butuh sebuah paguyuban sebagai wadah mereka. Warga juga yakin hanya Joko yang bisa membantu mewujudkan terbentuknya paguyuban tersebut. Sejak saat itu, Joko resmi jadi penghuni flyover.

Mendorong Warga Memiliki Hunian

Meski warganya tinggal di hunian ilegal, Paguyuban Cakrawala terus mendorong anggotanya untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Meski tak tercatat dalam administrasi, Paguyuban Cakrawala juga sering mengadakan kegiatan, rapat, kerja bakti seperti pada umumnya.

Paguyuban itu sadar bahwa tanah yang mereka tempati bukanlah milik mereka. Karena itu, setidaknya mereka ingin bertanggung jawab dengan cara membuat lingkungan menjadi lingkungan yang baik.

Sebisa mungkin ketika ada warga yang sudah lebih mampu, akan didorong untuk meninggalkan rumah itu, rumah yang ditinggalkan nantinya juga akan dibongkar.

“Saya punya program tidak menambah lainnya artinya ketika ada warga yang sudah mampu beli rumah di luar saya akan paksa pindah dan tak akan ada warga baru di sini. Di sini awalnya 75 KK sekarang tinggal 39 KK dari 2006 sampai sekarang saya berhasil mengeluarkan 36 KK. Saya keras memang, keras karena komitmen, warga juga komitmen,” jelasnya.

Meski sudah bisa menikmati hidup di kolong flyover, Joko tetap ingin agar warganya bisa pindah ke lingkungan yang lebih layak. Dia berharap pemerintah memberikan keringanan dan memberikan akses bagi warganya agar bisa mendapat rumah bersubsidi di Kota Semarang.

“Tolonglah kami dicarikan rumah bersubsidi yang bisa dicicil kalau kami yang mengajukan tetap nggak bisa, di sini pada berani kalau disuruh cicil soalnya di sini pada kerja dan pekerja keras semua, kami juga ingin memiliki rumah yg layak huni seperti yang lain,” bebernya.

Menurutnya, masa depan anak-anak di lingkungan itu juga harus dipikirkan.

“Ini untuk kehidupan anak kami juga, misalnya ni anak saya pacaran ditanya ortu pacarnya tinggal di mana, bilangnya apa dia? Susah, berat mau ngomong,” pungkasnya.

sumber: detikjateng

 

Polda Jateng, Kapolda Jateng, Irjen Pol Ribut Hari Wibowo, Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, Jawa Tengah, Jateng, AKBP Sigit, AKBP Erick Budi Santoso, Iptu Mohammad Bimo Seno, AKBP Suryadi, Kombes Pol Ari Wibowo, AKBP Wahyu Nugroho Setyawan, Kepolisian Daerah Jateng, Polisi Jateng, Polri, Polisi Indonesia, Artanto, Ribut Hari Wibowo